Total Tayangan Halaman

Rabu, 08 Desember 2010

Heart n Thinkin’


_08122010_


Aku ingin melukismu sebagai nyanyian yang setiap saat kulantunkan untukmu
Aku ingin menjadikanmu sebagai langkah yang setiap saat menemani perjalananku
Aku ingin membuatmu bersayap agar setiap saat bisa terbang menuju pelangi bersamaku
Aku ingin mencintaimu segenap jiwaku agar kau tetap mencintaiku dari hati dan pikiranmu

Tak ada yang ingin kusembunyikan dibalik gelapnya pandangan orang lain terhadapmu
Sebab aku tak berdiri di atas tanah tanpa berpijak
Aku melihatmu dan kau melihatku
Tercukupkanlah indah dunia yang hanya kan jadi milik kita untuk berpijak

Telah begitu senja....
Aku lupa cara berpuisi syahdu
Hanya kali ini saja aku mengingatmu
Sekejap jemariku meremas kata-kata dalam hatiku yang mendamba
Bukan untuk memohon kau mencintaiku..
Tapi karena hatiku tahu..
Bahwa kau mencintaiku lebih dari batas pengetahuanku

Meski aku tak henti-hentinya bertasbih dalam bisikan
Tetaplah mencintaiku Tuhan

Selasa, 07 Desember 2010

Ekspresi Awan


Senja hari ini tidak semerah yang banyak berlalu belakangan ini. Sekelebat awan yang tidak jelas mau menghitam atau memutih (baca: abu-abu) menyelimuti pandanganku saat melewati puncak jalan layang yang setiap kali membuat pikiranku melayang menjelajahi keindahan ciptaan-Nya.

Langit yang tidak cerah sepertinya mengingatkan bahwa dalam beberapa waktu lagi akan turun hujan. Tapi buatku belum tentu. Sering kali hujan turun karena adanya hubungan tarik menarik antara pikiran manusia dengan alam semesta. Dan selalu saja keyakinan yang ditekuni merupakan ramalan yang paling manjur dalam hidup, sehingga kadangkala ketika keraguan datang dan aku menyesalinya seketika pula keyakinanku menertawakanku tanpa ampun. Untuk itu aku lantas selalu berusaha untuk meyakini pilihanku. Agar sekalipun aku gagal, semoga tidak akan pernah ada kata menyesal yang membunuhku pelan-pelan.

Awan. Betapa aku selalu takjub dan belajar banyak dari awan. Suatu ketika seorang teman menertawakanku karena mempercayai bahwa hujan yang deras dan baru saja mengguyur bumi sore itu akan berhenti dalam waktu setengah jam. Aku hendak ke rumah dosen kala itu dan jika saja hujan tetap bersikeras menjatuhkan diri hingga malam, maka rencana ke rumah dosen akan tertunda.
A: “B, kau lihat awan putih yang malu-malu di sudut sebelah sana?”
B: “Kenapa memangnya?”
A: “Itu bukan awan putih.... Itu adalah harapan!!!”
B: “Ah, sudahlah... Jangan sok puitis. Aku tidak percaya... Sudah tiga hari hujan sore seperti ini baru reda di malam hari”
Sambil terus meyakininya, aku mencoba meyakinkan teman tersebut hingga iapun bosan dan akupun mulai tertawa. Dan aku masih saja yakin. Hingga setengah jam berlalu... Akhirnya ia pasrah harus mendengarkan ceramahku lagi tentang keyakinan yang diikhlaskan, karena hujan tiba-tiba berhenti dan secara mistis kupercayai disebabkan karena aku terus berdoa dan Tuhan mengabulkannya lewat sentuhan kata “Kun Fayakun”.

Kali lain awan putih mengajariku tentang cara memandang. Dari sisi yang menantang bulatnya bumi di tengah gerimis yang tampak akan membesarkan butirannya, aku mengira bahwa awan putih yang kulihat akan segera kugapai dalam jarak beberapa meter berkendara. Hingga aku berani saja menantang hujan. Aku tidak yakin kali ini dan aku salah mengira. Awan putih yang kupikir begitu dekat dari pandanganku ternyata tidak tergapai hinggapun setibaku di rumah dalam keadaan basah yang tidak kuyub. Dan aku merenungkannya.. Awan baru saja mengingatkanku tentang luasnya langit yang tidak bisa dipandang hanya dari satu sudut pandang saja. Bahwa setiap hal tidak bisa dijudge sebelum semua sudut pandang telah digunakan untuk melihatnya. Bahasa kerennya “don’t judge a book by it’s cover

Awan bisa saja diumpamakan seperti manusia yang juga merasakan keadaan sekitarnya. Di suatu siang, matahari terik sedang mendominasi langit, dan dengan sangat pengertiannya, awan membuat dirinya menipis sehingga langit tetap indah meski teriknya matahari membuat dunia kepanasan. Di saat matahari sedikit kelelahan untuk bercahaya, awan putih yang cukup tebal datang mengimbangi keindahan langit dengan segala kecerahannya. Namun suatu hari iapun memohon pada matahari untuk mengerti dirinya di saat bebannya begitu berat dan ingin menangis, namun membuat langit tetap indah akibat awan yang berubah menjadi abu-abu dan tangisannya yang mendayu-dayu. Sehingga penghuni bumipun mengerti betapa hidup tidak selalu secerah pelangi, bahwa terkadang hidup begitu kelam atau sama sekali tidak jelas dan abu-abu, bahwa hidup tidak serta merta menjadi tidak indah karena beban hidup yang berat. Karena awan hanya ingin berekspresi atas perasaan yang dikaruniakan Tuhan untuk memikirkan tujuan kehidupan dan terus bersyukur atas keseimbangan yang telah diciptakanNya.

Aku hanya sedang memandangi awan kali ini... Dan Anda begitu bebas untuk lebih tertarik memandang ini dari sisi matahari, bintang atau apa saja.

i’m enough of an artist to draw freely upon my imagination....”
(ALBERT EINSTEIN)


IKHA_06122010_